“Pemegang gelar S1 di negara kita ternyata masih kalah bersaing dibandingkan D2 keluaran negara tetangga”. Kata-kata sederhana yang cukup membuat hatiku tetcekat. Percaya gak percaya hal itu ada benarnya. Jadi salahnya dimana? Pertanyaanku pada diri sendiri.
Genderang kompetisi global telah terbuka lewat gerbang MEA. Apakah saya sudah siap? Kalau pun sudah, bagaimana dengan anak-anak kami nantinya? Bagaimana kami menyiapkan mereka? Sanggupkah? Langsung deh serasa bintang2 bertaburan di atas kepalaku.
Dulu anak-anak dengan cepat akan menjawab ingin jadi dokter karena ingin menolong orang lain, atau insinyur agar bisa membuat jembatan atau gedung, atau pekerjaan keren lainnya. Tapi jaman berubah. Acara di televisi dan media lain bisa mempengaruhi jawaban anak sekarang. Jawaban cenderung berubah-ubah. Hari ini bilang pengin jadi chef karena melihat kehebatan chef cilik di TV, bulan berikutnya bisa saja bilang ingin jadi pembalap melihat pemenang balap mobil Formula selalu dielu-elukan.
Kita semua CERDAS
Pada acara Talkshow "Persiapan Pendidikan Anak Menghadapi Persaingan Global", Psikolog Elizabeth T. Santosa menjelaskan pentingnya mengetahui bakat dan minat anak sejak dini. Dikatakannya, orang tua penting mendukung potensi dan bakat anak. Jangan sampai waktu anak-anak terbuang sia-dia dengan kuliah di bidang yang tidak sesuai dengan bakat dan minatnya, tambahnya.
Bila ditanya apa bakat anak saya, saya agak grogi juga. Sudah sering sih dengar bahwa bakat itu penting untuk mendukung seseorang dalam mengejar cita-cita. Dan banyak pula yang menganjurkan agar anak saya menjalani semacam tes untuk mengetahui bakatnya. Saya sendiri secara pribadi kurang tahu apa bakat saya. Yang jelas saya suka pelajaran matematika dan IPA, diterima dan kuliah di universitas negeri sampai lulus S2. Tapi, apakah itu bakat dan cita-cita saya? Entahlah.
Waktu masih balita anak saya senang sekali menyanyi dan hafal puluhan lagu anak-anak. Tapi setelah remaja sekarang dia lupa semua lagu itu dan jika menyanyi suaranya tidak sebagus dulu. Lalu saya dia saya suruh belajar piano tapi setelah dua tahun dia bosan dan tidak mengalami banyak kemajuan. Apakah dia kurang berminat atau berbakat? Kurang tahu juga saya.
Elizabet Santosa mengutip pernyataan Profesor Howard Gardner yang mengatakan bahwa setiap anak mempunyai kecerdasan majemuk. Ada delapan macam kecerdasan dan setiap anak mempunyai semua itu. Tetapi biasanya satu atau dua saja yang menonjol sedangkan yang lain hanya menunjang dalam upaya mencapai cita-cita sesuai dengan kecerdasan itu. Kedelapan kecerdasan itu adalah kecerdasan linguistik, matematis-logis, spesial, kinestetik, musikal, interpersonal, intrapersonal dan naturalis.
Kecerdasan linguistik atau bahasa bisa mengantar anak menjadi pembawa acara, pendongeng, wartawan, editor atau aktor.
Kecerdasan matematika logis memungkinkan anak menjadi ahli matematika, ahli statistik, programer, peneliti maupun pengolah data. Kecerdasan visuo-spasial adalah bekal untuk meraih cita-cita sebagai pilot, perancang mode, arsitek atau pelukis.
Kecerdasan kinestetik menunjang orang yang bercita-cita menjadi olahragawan, penari atau mekanik.
Kecerdasan musikal tentu saja sangat cocok bagi anak yang ingin jadi penyanyi, pemain musik atau pencipta lagu.
Kecerdasan interpersonal atau kemampuan memahami maksud, motivasi dan suasana hati orang lain memberi peluang kepada anak yang ingin bekerja di bidang public relations, marketing, pekerja soal dan lainnya.
Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan mengenal diri sendiri dan pemiliknya bisa menjadi filsuf, peneliti atau penulis.
Sedangkan kecerdasan naturalis atau kemampuan mengenali alam sekitar adalah bekal bagi seorang ahli biologi, petani, pekebun dan sebagainya.
Untuk mendukung cita-cita anak orang tua perlu: mengidentifikasi potensi anak, mengarahkan dan membina serta memotivasi anak, ujar Elizabeth mengutip Howard.
Rumput tetangga seringkali tampak lebih hijau daripada halaman sendiri. Demikian juga, saat membandingkan bakat anak. Terkadang kita merasa anak kita ‘kurang’ ini itu. Padahal banyak jalan menuju Roma, setiap anak punya kecerdasan yang berbeda.
Setelah mengikuti talkshow tersebut, saya mencoba mengaplikasikan pada anak saya yang sekarang sudah duduk di klas 2 SMP. Pertama-tama saya meminta ia untuk membaca sebuah cerpen dan menceritakannya kembali dengan bahasa sendiri. Hasilnya dia saya beri angka 8 untuk skala dari 1 sampai 9. Lalu saya minta dia mengerjakan soal matematika yang sudah diajarkan di sekolah dan hasilnya 5. Seterusnya saya minta dia melempar potongan kertas ke dalam keranjang sampah dari jarak 2 meter dan nilainya 6. Soal musik seperti saya katakan di atas saya beri nilai 7 juga. Untuk menguji kecerdasan interpersonal dia saya suruh meminjam sejumlah barang ke tetangga yang tidak dia kenal dengan baik dan hasilnya 5. Selanjutnya dia saya minta dia menuliskan apa yang dia rasakan saat itu dan hasil tes interpersonal ini adalah 7. Terakhir saya tunjukkan sejumlah gambar pohon dan binatang kepadanya dan hanya 60 persen yang dia kenali.
Jadi saya berkesimpulan bahwa anak saya punya bakat di bidang bahasa dan musik. Maka saya akan memotivasi dua agar banyak berlatih menulis puisi dan cerpen serta belajar alat musik lagi, apalagi dia pernah bilang ingin belajar gitar.
Jadi sekarang sudah tahu kan kalau sekolah formal saja tidak cukup. Anak perlu didanai untuk mengasah kecerdasannya. Untuk itu menyiapkan dana pendidikan sedini mungkin itu penting. Menabung adalah cara terbaik untuk menyisihkan dana bagi pendidikan anak.
Jika kita menyisihkan dana untuk biaya pendidikan anak, tentu saja hal ini sifatnya jangka panjang. Sebisa mungkin dana yang kita sisihkan ini disimpan dengan baik tanpa kita tergoda mengambilnya untuk keperluan selain biaya pendidikan. Untuk itulah kita harus memilih jenis penyimpanan yang tepat.
Siapkan bukan sisihkan apalagi sisakan
Nah ini yang salah kaprah. Iyalah, pendidikan anak (kalau memang) adalah prioritas utama, modal dananya harus disiapkan. Sudah ada jatahnya dari penghasilan tiap bulan, disiapkan sejak awal, bukan dari hasil menyisihkan penghasilan yang tersisa dari pengeluaran lain.
Mengingat kebutuhan modal yang besar, dana harus disiapkan secara konsisten. Jangan sekedar musiman. Sedikit demi sedikit lama lama menjadi bukit.
Masih terasa berat?
Cara yang populer saat ini dengan mengikuti asuransi pendidikan.
Tak kenal maka tak sayang
Begitu mendengar kata asuransi, mimik kita langsung berubah. Asumsinya bakalan keluarkan uang untuk sesuatu yang gak jelas.
Mungkin ini yang namanya tak kenal maka tak sayang. Atau pikiran kita kurang panjang membayangkan manfaatnya di masa yang akan datang. Maunya yang berefek segera. Padahal kalau ikutan MLM atau arisan kita sering gampangan saja ikutan. Padahal belum tentu untung, bisa rugi malah.
Nah bagaimana kalau kita, asumsi saja ikutan arisan alias asuransi pendidikan. Perlahan asal konsisten, dananya bertahan. Bahkan ada value lebih yang bisa didapatkan.
Mendengar nama Jiwasraya, rasanya seperti baru kenalan. Padahal dia sudah ada sejak jaman Belanda dulu. Asuransi pelat merah 100% punya negara kita, tentu sudah ada reputasinya. Kalau tidak dipercaya, tentunya tak akan bertahan hingga kini, mungkin sudah bubaran jauh2 hari. Jadi kalau ada keraguan, mungkin bisa dibalik pertanyaan. Apakah kita memang niat persiapkan investasi pendidikan? Mungkin kita yang ambigu, paham punya kebutuhan tanpa punya kemauan.
Sebagai asuransi yang telah bertahan lebih dari seabad, reputasinya tentu tidak perlu dipertanyakan. Untuk pendidikan buah hati, tersedia produk JS Prestasi. Nantinya anak kita akan mendapatkan manfaat investasi seperti beasiswa.
→Dengan value, nilai uang asuransi yang bertambah 5% dari awal secara majemuk per tahun.
→Selama 5 tahun, si anak akan mendapat ‘beasiswa’ setiap bulan.
→Bebas premi berkala tiap jatuh tempo pembayaran manfaat
→Jika tertanggung karena kecelakaan, ahli waris bakal menerima manfaat 200%; sedangkan jika bukan karena kecelakaan, manfaatnya 100% uang asuransi kepada ahli waris.
→Jika tertanggung mengalami cacat tetap, akan terbebas dari kewajiban pembayaran premi lanjutan. Manfaat tahapan dan biaya kuliah tetap dibayarkan sesuai dengan jatuh tempo manfaat.
→Jika calon penerima beasiswa ini meninggal, pemegang polis dibebaskan dari pembayaran premi lanjutan. Seluruh premi standar tetap kembali kepada pemegang polis, dengan manfaat tahapan dan biaya kuliah per bulan tetap dibayarkan sesuai dengan jatuh tempo manfaat.
Untuk mencapai hasil optimal, kita harus konsisten.
Bagaimana supaya konsisten?
Jiwasraya memperbanyak cara agar konsumennya terbiasa menyiapkan tabungan tanpa merepotkan. Seperti dengan auto debet maupun ATM. Perwakilannya pun sudah tersebar di seantero nusantara. Untuk lebih jelasnya, bisa menghubungi (021) 1500 151.