1. Banyak Membaca Buku
2. Memahami Diet
3. Berkonsultasi Dengan Pakar
4. Berobat Teratur
5. Penyesuaian Terapi
6. Aktif Dalam Komunitas
7. Optimalisasi Di Rumah
Rasa tidak percayalah yang menerpa kami ketika dokter meyakinkan kami bahwa anak kami didiagnosis mengalami sindroma autisme.
Bagaimana mungkin anak kami lahir sehat dengan berat di atas rata rata bisa seperti itu. Dia yang pada tahun pertama tumbuh seperti layaknya bayi lain ternyata mulai kelihatan berbeda pada tahun berikutnya. Kontak mata dengan orang lain, termasuk saya sendiri sebagai ibunya, menjadi susah dilakukan. Beberapa kosa kata yang sudah dikuasainya tiba-tiba lenyap tak berbekas. Tanda tanda itulah yang kami ketahui tentang penyandang autisme. Walaupun kami sudah curiga, kami toh terkejut juga ketika anak saya divonis demikian. Karena autisme adalah momok bagi kami atau orangtua manapun.
Syok atau tidak, kami toh tetap harus mengupayakan agar anak kami bisa berkembang maksimal. Kami, saya dan suami saya, bertekad tidak akan menyerah dengan kondisi ini. Keterbatasan pengetahuan kami tidak boleh menjadi penghalang untuk mencari jalan terbaik bagi si buah hati.
Langkah pertama kami tentu saja berkonsultasi dengan para ahli atau pakar di bidang ini. Apa saja yang harus kami lakukan. Pada umumnya, berdasarkan gejala anak saya, mereka menganjurkan agar buah hati kami menjalani sejumlah terapi, terutama terapi perilaku dan terapi sensor integration atau sensor integrasi disingkat SI. (Wah, apa ini?) Terapi SI diperlukan karena anak kami mengalami disfungsi kepaduan interaksi, yakni ketidakmampuan memproses informasi yang diterima melalui inderanya. Akibatnya anak akan mengalami kesulitan dalam mengunakan informasi itu untuk mengatur dan merencanakan apa harus dilakukannya. Dengan kata lain anak akan kesulitan dalam belajar.
Dan yang terjadi pada anak saya memang demikian. Buah hati kami sulit belajar bicara nyaris seperti anak lagu. Bukan karena pendengarannya terganggu tapi SI-nya yang terganggu. Pendengarannya justru sangat peka.
Kami pun mulai membaca berbagai macam literatur tentang autisme dan terapinya. Serta menjelajahi tempat tempat yang menyediakan terapi ini. Kami mulai dengan terapi di Klinik Pela 9 di Kebayoran dengan dr.Gitayanti sebagai psikiaternya. Kurang puas dengan hasilnya, kami berpindah ke tempat lain. Entah karena kebetulan atau apa, kebanyakan anak autis sering berpindah tempat terapi, termasuk untuk anak saya. Kami sudah mencoba terapi di Yamet di Lebak Bulus, di Talitakum Kebon Jeruk dll dan berkonsultasi dengan dr. Melly Budiman di RS Omni Pulomas, dr. Hargiono di Kelapa Gading dan sekarang dengan dr. Ika di Meruya. Sampai akhirnya kami sadar tidak perlu jauh-jauh mencari tempat terapi. Yang penting kami harus konsisten menjalani terapi tersebut.
Para pakar tersebut juga menganjurkan agar anak kami melakukan diet ketat untuk mengurangi hiperaktivitas anak kami. Diet yang dimaksud adalah menghindari makanan yang banyak mengandung glutein, yakni makanan yang terlalu banyak mengandung karbohidrat. Selain itu anak juga harus menghindari makanan mengandung kasein yang ada pada susu sapi.
Konsultasi dengan dokter diperlukan untuk mengetahui obat apa saja yang harus diberikan kepada anak saya terutama akibat untuk meredam hiperaktivitas. Pada umumnya dokter menyuruh kami memberikan Risperdal dengan dosis yang disesuaikan dengan kondisi si anak.salah satu dokter kami menyarankan agar kami memberikan sejumlah suplemen yang cukup menguras pundi pundi kami. Tanpa mengurangi rasa hormat kami pada dokter tersebut, akhirnya suplemen itu kami hentikan.
Langkah kami berikutnya adalah ikut dalam berbangsa kegiatan yang diadakan oleh komunitas orangtua agak penyandang autisme. Di situ kami bisa bertukar pengalaman dalam menangani masalah anak kami termasuk bagaimana cara mengoptimalkan apa saja yang kami miliki di rumah yang bisa dimanfaatkan untuk kemajuan di anak. Berenang, naik kuda, dan bermain bola besar dirumah diharapkan dapat meningkatkan keseimbangan indra sang anak dan selanjutnya akan mempermudahnya merespons informasi yang ia peroleh. Jadi segala keterbatasan pada diri kami ternyata bisa berubah menjadi keunggulan dalam upaya meningkatkan kemampuan indra anak kami sebagai bekal hidupnya kelak.